Ads

Jacob Appelbaum: The Most Dangerous Man in Cyberspace



Pada 29 Juli, saat pulang dari perjalanan ke Eropa, Jacob Appelbaum, seorang pria kurus berusia 27 tahun yang tak terlihat istimewa dan memakai kaus hitam dengan slogan ‘Be the trouble you want to see in the world’, ditahan di bea Cukai oleh segerombolan agen federal. Dalam ruang interogasi di bandara Newark Liberty, dia ditanya mengenai perannya dalam Wikileaks, grup penyelidik yang membongkar laporan-laporan pemerintah yang paling rahasia mengenai perang di Afghanistan.

Agen-agen itu memfotokopi kuitansi-kuitansinya, menyita tiga telepon seluler – dia punya lebih dari selusin – dan menyita komputernya. Mereka memberitahunya bahwa dia diawasi pemerintah. Mereka bertanya tentang 91.000 dokumen rahasia militer yang diedarkan Wikileaks seminggu sebelumnya, sebuah bocoran yang disebut sebagai “pengungkapan tanpa izin terbesar sejak Pentagon Papers” oleh Daniel Ellsberg, aktivis era Perang Vietnam. Mereka ingin tahu lokasi persembunyian Julian Assange, pendiri Wikileaks. Mereka menanyakan pendapatnya mengenai perang-perang di Afghanistan dan Irak. Appelbaum menolak menjawab. Akhirnya, setelah tiga jam, dia dilepas.

Appelbaum adalah satu-satunya anggota Wikileaks yang diketahui berasal dari Amerika, dan advokat terkemuka untuk program perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya kebocoran itu. Bisa dibilang dia adalah kebalikan dari Mark Zuckerberg: Kalau ambisi Facebook adalah “membuat dunia lebih terbuka dan saling berhubungan”, maka Appelbaum mengabdikan hidupnya demi anonimitas dan privasi. Anak jalanan anarkis yang dibesarkan oleh ayahnya yang kecanduan heroin ini putus sekolah sewaktu SMA, mempelajari seluk-beluk kode dan menumbuhkan sifat paranoid.

“Saya tidak ingin hidup dalam dunia di mana semua orang diawasi setiap saat,” katanya. “Saya ingin dibiarkan sen-diri sebisa mungkin. Saya tidak ingin jejak data yang membeberkan kisah yang tidak benar.” Kita telah memindahkan informasi yang paling intim dan personal – rekening bank, email, foto, percakapan telepon, riwayat kesehatan – ke jaringan digital, dengan keyakinan bahwa semua itu tersimpan dalam arsip rahasia. Namun Appelbaum tahu bahwa informasi itu tidak aman. Dia tahu, karena dia bisa menemukannya.

Dia memeragakan ini saat saya bertemu dengannya pada musim semi lalu, dua minggu sebelum Wikileaks menjadi bahan berita di seluruh dunia karena mengedarkan video yang menunjukkan warga sipil di Irak yang dibunuh oleh tentara-tengara A.S. Saya berkunjung ke rumah dupleksnya di San Francisco. Perabotan yang ada hanyalah sofa hitam, kursi hitam dan meja hitam yang rendah; topeng Guy Fawkes menempel pada dinding dapur. Di lantai terdapat banyak kantong Ziploc berisi gepokan mata uang asing: peso Argentina, franc Swiss, lei Romania, dinar Irak lama yang masih ada wajah Saddam Hussein. Kantong dengan tulisan “Zimbabwe” berisi selembar uang $50 milyar. Foto-foto, yang kebanyakan dipotret oleh Appelbaum, menutup tembok di atas meja kerjanya: cewek-cewek punk dengan pose menggoda dan sebuah potret mendiang ayahnya, seorang aktor, dengan pakaian wanita.


Appelbaum bercerita tentang salah satu prestasi hacking-nya yang kurang mengesankan, yakni sebuah program perangkat lunak ciptaannya bernama Blockfinder. Menurutnya, program itu tidak sulit dibuat. Malah, kata yang digunakannya untuk menggambarkan kompleksitas program itu adalah “sepele”, sebuah kata sifat menusuk yang sering digunakannya bersama teman-teman hacker-nya. Misalnya, “Menembus firewall Cina adalah hal sepele” atau “Mengakses akun Yahoo mana saja dengan memakai password-request attack adalah hal sepele.” Blockfinder hanya memungkinkan kita untuk mengidentifikasi, mengontak dan mungkin membobol semua jaringan komputer di dunia.

Dia mengajak saya untuk menuju salah satu dari delapan komputernya dan menekan beberapa tombol untuk menghidupkan Blockfinder. Dalam kurang dari 30 detik, program itu membuat daftar alokasi semua alamat Internet Protocol di dunia – sehingga dia bisa mendapat akses terhadap semua komputer yang berhubungan dengan Internet. Appelbaum memutuskan untuk mengincar Birma, sebuah negara kecil dengan salah satu rezim yang paling represif di dunia. Dia mengetik kode negara Birma yang terdiri dari dua huruf: “mm”, singkatan dari Myanmar. Blockfinder langsung menampilkan semua alamat IP di Birma.

Blockfinder memberi tahu Appelbaum bahwa ada 12.284 alamat IP yang dialokasikan kepada Birma, dan semuanya didistribusikan oleh layanan jasa Internet yang dikuasai pemerintah. Di Birma, seperti halnya di banyak negara di luar Amerika Serikat, akses Internet dikendalikan peme-rintah. Appelbaum menekan beberapa tombol dan berusaha terhubung dengan semua sistem komputer di Birma. Hanya 118 memberi jawaban. “Itu berarti hampir semua jaringan di Birma diblokir dari dunia luar,” katanya. “Semua kecuali 118.”

Ke-118 sistem komputer yang tak tersaring ini hanya bisa dimiliki organisasi dan orang yang diberikan akses Internet tanpa batas oleh pemerintah: politikus keperca-yaan, tingkat tertinggi dari perusahaan milik negara, badan intelijen.
“Yang ini,” kata Appelbaum, “adalah bagian serunya.”
Dia memilih salah satu dari 118 jaringan itu secara acak dan berusaha memasukinya. Sebuah window terbuka dan meminta kata sandinya. Appelbaum tertawa keras – dengan bahagia dan sedikit gila. Jaringan itu menggunakan router buatan Cisco Systems dan penuh dengan kelemahan. Membobolkannya adalah hal sepele.

Mustahil untuk mengetahui apa yang ada di balik kata sandi itu. Akun email pribadi sang perdana menteri? Server jaringan polisi dinas rahasia? Komando pusat junta militer? Apapun yang ada di sana, itu bisa menjadi milik Appelbaum.

Apakah dia akan melakukannya?
“Bisa saja,” kata Appelbaum, sambil tersenyum. “Namun itu ilegal, bukan?”



Dalam mengkampanyekan pentingnya anonimitas, tak ada yang lebih berjasa dibanding Appelbaum, yang sehari-hari bekerja sebagai juru bicara dari Tor Project, sebuah grup yang mempromosikan privasi di Internet melalui sebuah program perangkat lunak yang diciptakan 15 tahun lalu oleh U.S. Naval Research Laboratory. Dia berkeliling dunia untuk mengajarkan mata-mata, pemberontak politik dan aktivis hak asasi manusia tentang bagaimana cara menggunakan Tor agar gerak-gerik mereka di Internet tidak dapat dilacak oleh rezim-rezim yang paling represif di dunia. Dia menganggap kebebasan berbicara adalah hak yang absolut. “Satu-satunya cara umat manusia bisa berkembang adalah jika ada dialog,” katanya. “Semua orang seharusnya menaati deklarasi hak asasi manusia PBB yang menyatakan bahwa akses terhadap kebebasan berbicara adalah hak yang universal. Komunikasi anonim adalah cara yang baik dalam mewujudkannya. Tor hanyalah implementasi yang membantu menyebarkan konsep itu.”

Dalam setahun terakhir saja, Tor diunduh lebih dari 36 juta kali. Diduga seorang anggota tingkat tinggi dalam militer Iran menggunakan Tor untuk membocorkan informasi tentang perangkat penyensoran Tehran. Seorang blogger Tunisia yang diasingkan dari negaranya dan kini tinggal di Belanda mengandalkan Tor untuk menerobos badan sensor negara. Selama Olimpiade Beijing, demonstran Cina menggunakan Tor untuk menyembunyikan identitas dari pemerintah.

Tor tidak hanya mendapat pendanaan dari perusahaan besar seperti Google dan grup aktivis seperti Human Rights Watch, tapi juga dari militer A.S., yang menganggap Tor sebagai alat yang penting dalam kinerja badan intelijen. Namun Pentagon kurang senang saat rahasianya sendiri dibocorkan dengan penggunaan Tor. Wikileaks memakai Tor, yang membantu menjaga anonimitas para informannya. Walau Appelbaum adalah pegawai Tor, dia menjadi relawan untuk Wikileaks dan banyak bekerja dengan Julian Assange, pendiri grup itu. “Tor sangat penting bagi Wikileaks,” kata Assange. “Di balik layar, Jake telah mempromosikan gerakan kami tanpa lelah.”

Pada Juli lalu, sebelum Wikileaks membocorkan dokumen-dokumen rahasia tentang perang Afghanistan, Assange dijadwalkan memberi pidato di Hackers on Planet Earth (HOPE), sebuah konferensi besar yang diadakan di sebuah hotel di New York. Agen-agen federal terlihat di antara hadirin, tampaknya menanti kemunculan Assange. Namun saat lampu-lampu di auditorium memudar, yang muncul di panggung bukan Assange, melainkan Appelbaum.

“Halo kepada semua teman dan penggemar saya di dunia pemantauan domestik dan internasional,” kata Appelbaum. “Saya hadir pada hari ini karena saya percaya bahwa kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik. Sayangnya, Julian berhalangan hadir karena kita belum hidup dalam dunia yang lebih baik itu, karena itu belum tercipta. Saya ingin membuat pernyataan kecil bagi agen-agen federal yang berdiri di belakang ruangan dan yang berdiri di depan ruang-an, dan agar semuanya jelas: Di saku saya, ada sejumlah uang, Bill of Rights dan Surat Izin Mengemudi, itu saja. Saya tidak punya sistem komputer, telepon, kunci atau akses terhadap apapun. Tidak ada alasan bagi kalian untuk menangkap atau mengganggu saya. Dan jika ada yang bertanya-tanya, saya adalah warga yang lahir dan dibesarkan di Amerika, yang merasa tidak puas. Saya tidak puas dengan keadaan sekarang.” Dia berhenti, dan mendapat sambutan antusias. “Mengutip dari Tron,” katanya, “ ‘I fight for the user.’ ”

Selama 75 menit berikutnya, Appelbaum berbicara tentang Wikileaks, dan membujuk para hacker yang hadir untuk menjadi relawan bagi gerakan itu. Lalu lampu dimatikan, dan Appelbaum, dengan hoodie hitam yang menutup wajahnya, tampak diantar keluar dari auditorium oleh sekelompok relawan. Namun di lobi, ternyata pemuda di balik tudung itu bukan Appelbaum. Appelbaum menyelinap di belakang panggung dan meninggalkan hotel melalui pintu keamanan. Dua jam kemudian, dia sudah naik pesawat menuju Berlin.

Ketika Appelbaum kembali ke Amerika 12 hari kemudian dan ditahan di Newark, koran-koran melaporkan bahwa dokumen perang itu berisi identitas puluhan informan Afghanistan dan calon-calon pembelot yang bekerja sama dengan tentara Amerika. (Saat ditanya kenapa Wikileaks tidak menyunting dokumen-dokumen itu sebelum menyebarkannya, seorang juru bicara organisasi itu menyalahkan jumlah informasinya: “Saya tidak bisa membayangkan seseorang bisa memilah 76.000 dokumen.”) Marc Thiessen, mantan penulis pidato Bush, menyebut grup itu sebagai “usaha kriminal” dan mengimbau militer A.S. untuk memburu mereka seperti Al Qaeda. Mike Rogers, seorang senator Partai Republik dari negara bagian Michigan, berkata bahwa tentara yang kabarnya memberikan dokumen-dokumen itu kepada Wikileaks seharusnya dihukum mati.

Dua hari kemudian, setelah berpidato di konferensi hacker di Las Vegas, Appelbaum dihampiri sepasang agen FBI yang menyamar. “Kami ingin mengobrol selama beberapa menit,” kata salah satunya. “Kami pikir mungkin Anda takkan mau. Namun kadang-kadang ada baiknya berbicara agar lebih memahami.”


Sejak itu, Appelbaum menghilang dari peredaran – menghindari bandara, teman, orang tak dikenal dan lokasi tidak aman, berpergian melintas Amerika dengan mobil. Dia menghabiskan lima tahun terakhir dengan bekerja untuk melindungi aktivis-aktivis di seluruh dunia dari pemerintah yang represif. Kini, dia melarikan diri dari pemerintah sendiri.

Obsesi appelbaum dengan privasi mungkin disebabkan masa kecilnya yang tanpa privasi. “Saya berasa dari keluarga orang gila,” katanya. “Orang gila yang sebenar-benarnya.” Orang tuanya, yang tak pernah menikah, mengadakan perang hak asuh selama 10 tahun sebelum dia lahir. Dia menghabiskan lima tahun pertama dalam hidupnya bersama ibunya, seorang paranoid schizophrenic. Ibunya bersikeras bahwa Jake dicabuli ayahnya saat masih dalam kandungan. Saat berusia 6 tahun, dia diasuh bibinya; dua tahun kemudian, bibi-nya menitipkannya di sebuah panti asuhan di Sonoma County.

Di sanalah, pada usia 8 tahun, dia pertama kali membobolkan sistem keamanan. Seorang anak yang lebih tua mengajarkan bagaimana mendapat kode PIN dari keypad: Dilap sampai bersih, lalu saat petugas memasukkan kode lagi, tiupkan bubuk kapur dan ambil sidik jarinya. Pada suatu malam, setelah semua orang sudah tidur, anak-anak itu mematikan sistemnya dan kabur dari fasilitas itu. Mereka tidak melakukan apa-apa yang istmewa – hanya berkeliaran di lapangan softball di seberang jalan selama setengah jam – namun Appelbaum mengingat malam itu dengan jelas: “Senang rasanya menjadi benar-benar bebas selama sesaat.”

Di usia 10, pengadilan memutuskan agar dia diasuh ayahnya, yang hubungannya masih erat dengan anaknya. Namun tak lama kemudian ayahnya menjadi pemakai he-roin, dan masa remaja Appelbaum dihabiskan dengan berpergian bersama ayahnya di sekeliling Northern California naik bus Greyhound, tinggal di rumah perkumpul-an gereja dan penampungan gelandangan. Dari waktu ke waktu, ayahnya menyewa rumah dan menjadikannya sarang heroin, dan menyewakan kamarnya kepada sesama pecandu. Tiap sendok di dapur ada bekas bakarnya. Pada suatu pagi, saat Appelbaum mau menggosok gigi, ada seorang wanita yang kejang-kejang di bak mandi dengan jarum suntik menempel di lengannya. Pada siang lainnya, saat pulang dari sekolah, dia menemukan surat bunuh diri dari ayahnya. (Appelbaum menyelamatkan ayahnya dari overdosis di hari itu, namun ayahnya wafat beberapa tahun kemudian dalam keadaan yang misterius.) Dia menghindari duduk di sofa karena takut akan tertusuk oleh jarum.

Sebagai orang yang terasing di rumahnya sendiri, Appelbaum memeluk budaya orang terasing. Dia berkeliaran di mal Santa Rosa dan mengemis. Dia memakai baju wanita dan kaus i love satan, mewarnai rambutnya sehingga menjadi ungu, berkelahi dengan orang-orang fundamentalis Kristen dan bercumbu dengan anak laki-laki lainnya di depan sekolah. (Appelbaum menyatakan dirinya sebagai “homo”, namun menyebut adanya sekitar setengah lusin kekasih wanita di berbagai negara.) Saat ayah seorang teman mengayomi ketertarikannya terhadap komputer dan mengajarkan cara memakai alat-alat programming dasar, Appelbaum mendapat pencerahan. Programming dan hacking memungkinkannya “untuk merasa bahwa dunia bukan tempat yang sia-sia. Internet adalah satu-satunya alasan saya masih hidup sekarang.”

Di usia 20 tahun, dia pindah ke Oakland dan akhirnya mengerjakan tech security untuk Rainforest Action Network dan Greenpeace. Di tahun 2005, beberapa bulan setelah ayahnya wafat, dia pergi sendiri ke Irak – dan berjalan kaki menyeberangi perbatasan – serta mendirikan jaringan satelit di Kurdistan. Setelah Badai Katrina melanda New Orleans, dia menyetir ke New Orleans, menggunakan dokumen pers palsu untuk melewati pemeriksaan Garda Nasional, dan mendirikan wireless hot spot di salah satu kawasan termiskin di kota itu agar para pengungsi dapat mendaftar di program perumahan FEMA.

Setelah pulang, dia mulai bereksperimen dengan kartu-kartu tarif yang digunakan sistem Bay Area Rapid Transit dan me-nemukan bahwa kartu dapat direkayasa sehingga berisi kredit tarif yang tak terbatas. Bukannya memanfaatkannya, dia malah memberi tahu BART tentang adanya celah itu. Namun dalam percakapan ini, Appelbaum mengetahui bahwa BART secara permanen menyimpan informasi yang tertera pada setiap kartu transit – nomor kartu kredit yang digunakan, lokasi dan tanggal penggesekan – dalam sebuah pusat data privat. Appelbaum murka. “Menyimpan informasi itu adalah tindakan yang tak bertanggung jawab,” katanya. “Saya adalah pembayar pajak, namun saya tidak diberi pilihan dalam hal penyimpanan data itu. Itu tidak diputuskan secara demokratis – itu adalah keputusan birokratis.”

Mengingat kepeduliannya akan privasi, mudah dilihat kenapa Appelbaum tertarik pada Tor Project. Dia mengajukan diri sebagai programmer, namun segera terbukti bahwa kemampuan terbaiknya adalah dalam advokasi: Dia bisa meyakinkan dan menakutkan dalam kadar yang seimbang. “Jake lebih pandai dalam advokasi dibanding kebanyakan orang,” kata Roger Dingledine, salah satu pendiri Tor. “Dia selalu berkata, ‘Jika ada yang mencari Anda, maka mereka akan melakukan ini’, dan dia menunjukkan kepada mereka. Itu membuat orang-orang ketakutan.”


Internet, yang pernah digembar-gemborkan sebagai kekuatan liberalisasi dan demokratisasi yang tak tergeserkan, telah menjadi alat untuk pemantauan dan represi. “Kalau informasi sudah bocor, kita tak mungkin menutupinya lagi,” kata Appelbaum, “dan hanya butuh sedikit informasi untuk bisa menghancurkan kehidupan seseorang.” Bahayanya Internet mungkin masih terasa abstrak bagi kebanyakan orang Amerika, namun bagi banyak negara di dunia, mengunjungi situs yang dilarang atau membuat pernyataan yang kontroversial melalui email dapat mengakibatkan hukuman penjara, siksaan atau kematian.

Tahun lalu, sekitar 60 pemerintah mencegah warga negaranya dalam mengakses Internet dengan bebas. Kabarnya, Cina memiliki staf penyensor terdiri dari sekitar 30.000 orang yang telah menghapuskan ratusan juta situs dan memblokir serangkaian istilah yang kadang membingungkan – tak hanya “Falungong”, “opresi” dan “Tiananmen”, tapi juga “suhu”, “hangat”, “studi” dan “wortel”.
Pada siang yang cerah di San Francisco, sebelum Wikileaks mendominasi berita, Appelbaum mengenakan seragam hacker-nya yang biasa: sepatu bot hitam, kaus kaki hitam, celana hitam, kacamata berbingkai hitam dan sebuah kaus dengan slogan. (Kali ini: ‘Fuck politics – I just want to burn shit down’.) Walau dia lebih banyak duduk di meja saat bekerja, dia jarang diam di tempat. Dia sering melompat dan melakukan stretching akrobatik. Dia menaikkan kaki ke tembok, meregangkan leher, menarik lengan hingga membujur dada dan tiba-tiba duduk lagi.

Dia menjelaskan bahwa kami harus naik taksi untuk mengambil surat-suratnya. Seperti halnya menjadi seorang vegetarian atau pemeluk Mormon, kehidupan ano-nimitas total butuh banyak pengorbanan. Misalnya, surat-surat kita tidak boleh diantar ke rumah. Nama kita tidak boleh ada di daftar penghuni gedung. Semua surat Appelbaum dikirim ke kotak surat privat, di mana seorang pegawai menerimanya. Itu memungkinkan Appelbaum – serta pembangkang dan hacker yang berurusan dengannya – untuk menggunakan sistem pos secara anonim. Seseorang bisa mengirim paket ke Appelbaum, yang bisa membungkusnya kembali dan mengirimnya ke orang lain. Dengan demikian, orang pertama dan orang kedua tidak pernah berhubungan secara langsung – atau bahkan saling mengetahui identitas.

Ini serupa dengan cara kerja Tor. Kalau kita memakai Internet, komputer kita dihubungkan dengan web server yang kita ingin- kontak. Server itu mengenali komputer kita, mencatat alamat IP lalu mengirim halaman yang kita minta. Namun tidak sulit bagi sebuah badan pemerintah atau hacker jahat untuk menyimak transaksi ini: Mereka bisa memantau server dan melihat siapa yang mengontaknya, atau mereka bisa memantau komputer kita dan melihat siapa yang kita kontak. Tor mencegah terjadinya pemantauan online dengan me-nyelipkan perantara di antara komputer dan sistem yang mau dikontak.

Misalnya, jika kita tinggal di San Francisco dan mau kirim email kepada teman, seorang mata-mata tingkat tinggi dalam Garda Revolusi Iran. Kalau langsung kirim email ke teman kita itu, jaringan Garda dapat melihat alamat IP, dan mengetahui nama dan informasi pribadi ita. Namun kalau kita sudah meng-install Tor, email kita dialihkan ke salah satu dari 2.000 relay – komputer-komputer yang mengoperasikan Tor – yang disebar di seluruh dunia. Jadi pesan kita dikirim ke relay di Paris, yang mengirimnya ke relay kedua di Tokyo, yang mengirimnya ke relay ketiga di Amsterdan, dan akhirnya dikirim ke teman kita di Tehran. Garda Iran hanya bisa melihat email yang telah dikirim dari Amsterdam. Orang yang memantau komputer kita hanya bisa melihat bahwa kita mengirim email kepada seseorang di Paris. Tidak ada koneksi langsung antara San Francisco dan Tehran. Isi email kita tidak disembunyikan – itu membutuhkan teknologi encryption – namun lokasi kita aman.

Setiap tahun, Appelbaum banyak menghabiskan waktu untuk mengajarkan sesi pelatihan Tor di seluruh dunia, yang seringkali diselenggarakan secara rahasia untuk melindungi aktivis-aktivis yang nyawanya terancam. Beberapa di antaranya, seperti advokat pekerja seks di Asia Tenggara yang dididiknya, hanya memiliki pengetahuan terbatas mengenai komputer. Yang lainnya, seperti sekelompok mahasiswa yang dilatih Appelbaum dalam sebuah seminar di Qatar, sangat canggih: Salah satunya bekerja di jaringan penyensoran pemerintah, ada yang kerja di perusahaan minyak nasional, dan satu lagu menciptakan message board Al-Jazeera yang memungkinkan warga negara memberi komentar secara anonim. Di Mauritania, rezim militer negara itu terpaksa menghentikan upayanya untuk menyensor Internet setelah seorang pembangkang bernama Nasser Weddady menulis panduan Tor dalam bahasa Arab dan menyebarkannya ke grup-grup oposisi. “Tor membuat upaya pemerintah menjadi sia-sia,” kata Weddady. “Mereka tidak punya pengetahuan untuk melawan tindakan itu.”

Dalam mendistribusikan Tor, Appelbaum tidak membedakan antara orang baik dan jahat. “Saya tidak tahu bedanya antara satu teokrasi dengan yang lainnya di Iran,” katanya. “Yang penting bagi saya adalah bahwa orang-orang bisa berkomunikasi yang bebas dari pemantauan. Semua orang di mana saja seharusnya bisa bicara, membaca dan menentukan keyakinan tanpa diawasi. Seharusnya kita mencapai titik di mana Tor bukan suatu ancaman, namun dibutuhkan oleh setiap tingkat masyarakat. Kalau itu terjadi, maka kita menang.”


Sebagai juru bicara dari sebuah organisasi yang bergerak di bidang anonimitas, Appelbaum berada dalam situasi yang rumit. Tor membutuhkan publisitas sebanyak mungkin – semakin banyak orang yang membiarkan komputernya berfungsi sebagai relay, itu semakin baik. Namun dia juga hidup dalam keadaan selalu waspada, dan khawatir bahwa musuh-musuhnya – hacker yang iri, rezim asing yang represif, pemerintahannya sendiri – berusaha menyerangnya. Dia melakukan kompromi dengan memakai sistem dua lapis. Dia punya akun Twitter dan mengirim ribuan foto lewat Flickr. Namun dia juga menempuh cara-cara ekstrim demi mencegah munculnya informasi privat – nomor telepon, alamat email, nama teman-temannya.

“Ada beberapa derajat privasi,” katanya. “Kini, hal normal yang dilakukan adalah saling melaporkan dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh Stasi (polisi rahasia Jerman Timur). Saya tidak melakukan itu. Saya tidak memasukkan alamat rumah saya ke komputer mana pun. Saya membayar sewa dengan uang tunai. Untuk setiap online account, saya membuat kata sandi secara acak dan alamat email baru. Saya tidak pernah menulis cek, karena itu tidak aman – hanya butuh nomor routing dan nomor rekening untuk mengosongkan rekening bank. Saya tak paham kenapa ada yang masih memakai cek. Cek itu gila.”

Saat berpergian, jika laptop-nya sempat tak terlihat untuk beberapa waktu, dia menghancurkan dan membuangnya; dia khawatir seseorang telah menyadapnya. Dia seringkali menggunakan cara-cara ekstrim untuk menyelundupkan kopi-kopi Tor melalui bea Cukai di negara-negara asing. “Saya mempelajari apa yang dilakukan penyelundup narkotika,” katanya. “Saya ingin lebih jago dibanding mereka.” Dia menunjukkan sekeping uang logam 5 cent. Lalu dia menghantamnya di lantai apartemennya. Uang itu terbuka. Di dalamnya ada sebuah memory card microSD berkapasitas 8 GB. Di dalamnya terdapat Tor.
Secepat-cepatnya pertumbuhan Tor, Internet telah berkembang dengan lebih cepat. “Sulit dipercaya seberapa besarnya kekuasaan seseorang jika mereka punya akses tak terbatas pada pusat data Google,” kata Appelbaum.

Dengan cepat dia menegaskan bahwa rezim-rezim asing yang opresif hanyalah sebagian dari masalah. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan A.S. secara diam-diam telah mengumpulkan data mengenai warga negaranya sendiri. Penegak hukum dapat memberi surat kuasa kepada Internet provider untuk meminta nama, alamat dan catatan telepon. Dengan surat perintah dari pengadilan, mereka dapat meminta ala-mat email siapa saja yang berkomunikasi dengan kita serta situs yang kita buka. Cellphone provider dapat melacak lokasi kita kapan saja.

“Bukan hanya negara,” kata Appelbaum. “Kalau mereka mau, Google dapat menggu-lingkan negara mana saja di dunia. Google punya informasi yang cukup banyak untuk menghancurkan setiap pernikahan di Amerika.”
Bukannya Google mendanai Tor?

“Saya cinta Google,” katanya. “Dan saya cinta orang-orang di sana. Sergey Brin and Larry Page are cool. Namun saya mengkhawatirkan generasi berikutnya yang meng-ambil alih. Sebuah diktator yang baik hati tetap merupakan diktator. Pada suatu saat nanti, orang-orang akan menyadari bahwa Google punya semua informasi tentang semua orang. Lebih penting lagi, mereka bisa melihat pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan, dalam real time. Secara harfiah, mereka bisa membaca pikiran kita.”

Kini, setelah merebaknya kontroversi Wikileaks, Appelbaum lari ke bawah tanah dan merahasiakan keberadaannya dari teman-teman terdekatnya sekalipun. Dia curiga bahwa teleponnya disadap dan dia dibuntuti. Seminggu setelah diperiksa di Newark, dia menelepon saya dari lokasi yang dirahasiakan, setelah permintaan saya untuk mengontaknya disampaikan melalui serangkaian perantara. Dia menyadari betapa ironisnya situasi yang sedang dihadapinya.

“Saya akan semakin banyak menggunakan Tor – dan saya sudah banyak menggunakannya,” katanya, dengan suara yang tenang. “Saya telah menjadi salah satu dari orang yang saya lindungi dalam beberapa tahun terakhir. Sebaiknya saya menaati nasihat sendiri.”



Dikutip berdasarkan tulisan Nathaniel Rich di Rolling Stone Magazine Edisi Desember 2010...
SHARE

Author

hai saya farland.seseorang yg sedang memahami dan menikmati dunia blog... I'am Blogger and Javascript Programmer.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

komentar anda sangat penting utk kemajuan blog ini.trimakasih utk kunjungannya...